Pertama,
saya ingin mengucapkan terimakasih kepada Allah SWT yang telah memberikan saya
ide untuk menulis tulisan ini.
Kedua, saya ingin berterimakasih kepada Bu Shanti (guru sosiologi SMAN Mojoagung) yang telah membaca dan berkenan menanggapi pertanyaan saya seputar tulisan ini.
Dan sebelum dihakimi masa, saya ingin meberitahukan jika saya adalah seorang yang mengidap penyakit hipokrit. Setiap harinya, sadar tidak sadar, saya adalah seorang hipokrit. Bagaimana dengan anda? Ataukah kita semua adalah orang yang sama?
Kedua, saya ingin berterimakasih kepada Bu Shanti (guru sosiologi SMAN Mojoagung) yang telah membaca dan berkenan menanggapi pertanyaan saya seputar tulisan ini.
Dan sebelum dihakimi masa, saya ingin meberitahukan jika saya adalah seorang yang mengidap penyakit hipokrit. Setiap harinya, sadar tidak sadar, saya adalah seorang hipokrit. Bagaimana dengan anda? Ataukah kita semua adalah orang yang sama?
Manusia Hipokrit, Apakah Kita
Termasuk?
Hipokrit menurut KBBI adalah munafik,
orang yang suka berpura-pura. Atau dalam kamus Oxford Advanced Learner’s, kata Hypocrite
didefinisikan sebagai orang yang berpura-pura mempunyai standar/patokan moral
atau opini yang sebenarnya tidak dimilikinya. Atau dalam bahasa yang saya
gunakan, hipokrit adalah kondisi dimana aktualisasi perbuatan seseorang
berbanding terbalik dengan apa yang diucapkannya. Dalam ilmu jiwa modern, sosok
atau figure manusia hipokrit merupakan sosok yang sedang sakit. Pada dirinya
seolah-olah terbelah dua figur yang saling bertikai dalam satu tubuh. Figur
yang bertikai yakni antara figur eksoterus (luar) nya yang bisa terlihat dan
terdengar oleh orang lain, dengan figur indoterus (dalam) nya yang hanya bisa
diketahui oleh pelaku hipokrit itu sendiri.
Mungkin benar apa yang diungkapkan oleh
Mochtar Lubis (Alm) dalam bukunya yang berjudul “Manusia Indonesia” yang sempat
menjadi bahan perdebatan pada tahun 1980. Dalam bukunya, ia mengatakan bahwa
masyarakat Indonesia memiliki sifat munafik hipokrit. Mereka memakai topeng
untuk melindungi diri mereka sendiri, mereka juga memakai prinsip terhadap
atasan dengan sikap ABS (Asal Bapak Senang). Tidak sedikit pula para pembaca
pada waktu itu yang kontra dengan ulasan Mochtar Lubis, tapi setidaknya
signikal gaya Mochtar mengandung kebenaran dan menjadi kritik bagi tiap individu
maupun kelompok. Mirisnya lagi, ketika saya mencoba menguraikan akar
hipokritisme ini, saya menemukan fakta menarik yang disampaikan oleh Sdr. Amin
Siahan yang merupakan salah seorang kompasianer. Ia mengatakan bahwa
hipokritisme sosial sudah ada jauh sebelum Indonesia menjadi sebuah negara.
Pada zaman kerajaan, kaum birokrat berusaha memberikan pujian ataupun berita
yang menyenangkan raja. Imbalannya adalah berupa jabatan atau kekayaan yang
diberikan raja. Dan hal ini adalah contoh konkrit dari prinsip ABS yang
disampaikan oleh Mochtar Lubis. Ternyata, Hipokritisme sosial ini masih
berlanjut beriringan dengan sistem yang semakin berkembang. Ketika Nusantara
dikuasai VOC (1602-1799) perilaku hipokrit juga terjadi. Yaitu melalui
praktek-praktek korupsi secara massif sehingga mengakibatkan kongsi dagang ini
bubar.
Terlepas dari masa lalunya, sekarang
hipokrit tidak lagi dipandang sebagai aib yang harus dihindari. Ia justru
menjadi media yang digunakan untuk menjalani dan mempertahankan hidup. Karena
sudah menjadi kebiasaan, akhirnya ia menjadi “budaya” yang pastinya sulit untuk
disingkirkan. Dan dunia politik adalah hal yang paling tepat untuk
mendefinisikannya. Pada pemilu lalu, mulut-mulut hipokrit berseliweran di
berbagai media, baik media cetak maupun elektronik. Perempatan-perempatan jalan
dan pepohonan pun tidak luput dari sergapan sang empunya mulut-mulut hipokrit
ini. Mulai dari partai kambing merah sampai kambing hitam, masing-masing
memasang baleho, poster, maupun menyebarkan brosur yang temaya seragam:
Menjanjikan perubahan yang lebih baik. Namun faktanya, ketika sudah berkuasa,
tingkat kehipokritan mereka bertambah beberapa level dari sebelumnya. Kini
mereka menipu suara-suara rakyat yang telah mendukungnya. Mengumbar
kebijakan-kebijakan yang (katanya) baik untuk rakyat, tetapi hasilnya? Rakyat
miskin pun kian bertambah setiap harinya.
Namun siapa sangka bahwasannya virus
hipokrit ini tidak hanya terjadi di dunia politik yang menggelitik. Ternyata,
penyakit ini juga menjangkit di tubuh pendidikan Indonesia. Sekolah, sebagai
sebuah institusi yang memiliki ribuan bahkan jutaan agen perubahan juga tak
luput dari penyakit ini. memang saya tidak memiliki data yang valid dengan
persentase-persentase maupun fakta yang terdeskripsikan dengan rapi. Namun, saya
beranggapan bahwa sekolah adalah tempat praktek hipokrit sekularistik dari
hasil konsumsi media maupun pergaulan yang dilakukan secara tidak selektif. Mengapa demikian? Sadar
tidak sadar, kita sering melihat drama cinta di sekolah yang ada Indonesia.
Lakonnya pun sama, 2 pasang manusia yang ingin meluapkan perasaan lebihnya pada
lawan jenis. Tidak sedikit pula pelajar yang awalnya menyatakan cinta dengan
tulus, saling mencinta, kemudian dilanda konflik, dan berakhir dengan putus
yang di iringi dengan sebuah penyesalan. Mari kita namai hal tersebut dengan
“Siklus cinta ABG (Anak Baru Gede)”. Dan jika ditinjau dari penilaian sastra,
hipokrit memanglah serangkaian kata-kata indah yang bisa memabukkan siapa saja.
Dan disinilah peran hipokritisme yang disokong oleh tindakan sekular terjadi.
Lalu, mengapa bisa cinta dan kasih sayang di kalangan pelajar SMA disandingkan
dengan hipokrit, kemunafikan, dan hal-hal yang berbau sekularistis?
Dalam ajaran Islam, hipokrit memiliki
makna yang hampir sama dengan kata “munafiq”. Munāfiq atau Munafik berasal dari kata benda منافق, bahasa Arab
yang merupakan terminologi dalam islam untuk merujuk pada mereka yang
berpura-pura mengikuti ajaran agam Islam, namun sebenarnya hati mereka
memungkirinya. Namun sekarang, kata munafik tidak lagi selalu merujuk pada
orang Islam yang memiliki kepura-puraan dalam hal Aqidah. Ia menjadi kata umum
yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang selalu berpura-pura dalam
kehidupannya. Dalam islam, terdapat tiga ciri munafiqun atau orang-orang yang
munafiq. Yakni dusta dalam berbicara, ingkar dalam janji, serta khianat dalam
memikul kepercayaan. Lantas, bukankah tiga ciri tersebut sama dengan “siklus
cinta ABG” diatas? Mula-mulanya A menyatakan cinta dengan tulus ke B, lalu
dilanda konflik dan tidak bisa menemukan solusi. Lalu, si A mebuat sebuah
kebohongan untuk menutupi kesalahannya, dan disinilah dusta terjadi. Ketika
konflik mereda, muncul kembali konflik yang berakhir dengan putus dan sebuah
penyesalan. Jika kita memutar waktu kembali, si A pernah memberikan janji-janji
manis kepada B. Namun ketika A mengingkarinya, kini mereka tak lagi bersama
seperti janji yang pernah A lontarkan. Dan B pun merasa bahwa kepercayaan untuk
tetap bersama hingga akhir waktu telah dikhianati oleh A. bukankah sudah
terlalu jelas ke-hipokrit-an dalam drama cinta diatas? Sayangnya, drama
tersebut bukanlah suatu pementasan diatas panggung, melainkan sebuah realita
yang terjadi di tubuh pendidikan Indonesia.
Hipokrit Ibarat dewa Janus dalam
mitologi Romawi yang memiliki 2 kepala. Ia bisa menengok masa depan dan masa
lampau. Disatu sisi ia mendatangkan kebaikan, dan disatu sisi ia juga dapat
mengundang kehancuran. Kita sendiri sering tidak menyadari akan “dua kepala”
yang kita miliki. Ibarat air yang terus mengalir, ia seringkali bertemu dan
bertegur sapa dengan kotoran-kotoran yang dijumpainya. Begitupun dengan kita.
Selama hidup, kita tidak sadar akan kehipokritan yang telah kita perbuat.
Contoh kecilnya ialah ketika kita menilai rendah dan menyalahkan orang lain atas
kesalahan yang diperbuatnya. Padahal kita sendiri belum tentu bisa melakukan
hal yang ia perbuat, dan belum tentu kita lebih baik dari dia. Seorang hipokrit
akan selalu berusaha menampilkan sisi baik yang ia punya, dan mengunci
rapat-rapat segala sisi buruk darinya. Kalaupun sisi buruknya menguap, ia akan
mencoba untuk menutup-tutupi kesalahannya dengan sebuah dusta. Atau, mausia
hipokrit sering memuji orang lain. Padahal orang yang dipuji tersebut tidak
memiliki standar yang pantas untuk dipuji. Tak lain dan tak bukan karena “sang
hipokrit” hanya ingin mempertahankan relasi dengan orang tersebut hanya untuk
sebuah kepentingan. Atau yang lebih ekstrim, seorang hipokrit akan mengajak
orang lain untuk berbuat kebaikan, padahal ia sendiri seorang dzalim yang
sering lalai.
Dalam kehidupan yang mengagungkan materi sebagai penanda
keberhasilan dan kebahagiaan, mulut adalah modal utama. Bukan uang atau
jabatan. Justru dari mulut yang pandai berkata-katalah, status dan kekayaan
bisa diperoleh. Oleh karena itu marilah kita menjaga agar mulut kita tidak
“terpleset” ke arah kemunafikan. Mulut yang baik adalah mulut yang tidak
menuduh orang lain salah dan pantas dipersalahkan. Karena mulut yang baik
adalah mulut yang mengeluarkan perkataan yang penuh keadilan dan kedamaian.
Manusia Hipokrit, Apakah Kita Termasuk?
4/
5
Oleh
Unknown
8 komentar
Tulis komentarSaya juga org yg hipokrit min
ReplyBagus tulisannya , sangat menampar diri saya :(
ReplyW hipokrit juga :)
ReplyMungkin semua orang di dunia ini juga hipokrit :(
ReplyCukup menyentil menyadarkan perilaku2 seorang hipokrit terhadap sekitar, khususnya diri sendiri. Masih ada di dalam diri Saya jika melihat/berkaca ke dalam diri. Sungguh beruntung mereka yg bisa melihat ke-hipokrit-an di dalam diri mereka sendiri, karena ada kesadaran, dan muncul niat untuk memperbaiki diri. Bahaya bagi mereka yang larut dalam ke-hipokrit-an ini, akan selalu menjandi candu yang dosisnya akan selalu bertambah.
ReplyPada dasarnya hipokrit karena menginginkan perasaan aman, dan perasaan aman yang palsu inilah yang sudah menjadi pola kebanyakan masyarakat kita.
Tulisan yang baik! Keep sharing!
Gw juga
ReplyNice 😊
ReplyMantap, klo saya mungkin lebih ke virtue signalling. Virtue signalling itu bisa dibilang hipokrit stadium ringan.
Reply