Sabtu, 07 Maret 2015

Manusia Hipokrit, Apakah Kita Termasuk?

Pertama, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada Allah SWT yang telah memberikan saya ide untuk menulis tulisan ini.
Kedua, saya ingin berterimakasih kepada Bu Shanti (guru sosiologi SMAN Mojoagung) yang telah membaca dan berkenan menanggapi pertanyaan saya seputar tulisan ini.
Dan sebelum dihakimi masa, saya ingin meberitahukan  jika saya adalah seorang yang mengidap penyakit hipokrit. Setiap harinya, sadar tidak sadar, saya adalah seorang hipokrit. Bagaimana dengan anda? Ataukah kita semua adalah orang yang sama?




Manusia Hipokrit, Apakah Kita Termasuk?

Hipokrit menurut KBBI adalah munafik, orang yang suka berpura-pura. Atau dalam kamus Oxford Advanced Learner’s, kata Hypocrite didefinisikan sebagai orang yang berpura-pura mempunyai standar/patokan moral atau opini yang sebenarnya tidak dimilikinya. Atau dalam bahasa yang saya gunakan, hipokrit adalah kondisi dimana aktualisasi perbuatan seseorang berbanding terbalik dengan apa yang diucapkannya. Dalam ilmu jiwa modern, sosok atau figure manusia hipokrit merupakan sosok yang sedang sakit. Pada dirinya seolah-olah terbelah dua figur yang saling bertikai dalam satu tubuh. Figur yang bertikai yakni antara figur eksoterus (luar) nya yang bisa terlihat dan terdengar oleh orang lain, dengan figur indoterus (dalam) nya yang hanya bisa diketahui oleh pelaku hipokrit itu sendiri.
Mungkin benar apa yang diungkapkan oleh Mochtar Lubis (Alm) dalam bukunya yang berjudul “Manusia Indonesia” yang sempat menjadi bahan perdebatan pada tahun 1980. Dalam bukunya, ia mengatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki sifat munafik hipokrit. Mereka memakai topeng untuk melindungi diri mereka sendiri, mereka juga memakai prinsip terhadap atasan dengan sikap ABS (Asal Bapak Senang). Tidak sedikit pula para pembaca pada waktu itu yang kontra dengan ulasan Mochtar Lubis, tapi setidaknya signikal gaya Mochtar mengandung kebenaran dan menjadi kritik bagi tiap individu maupun kelompok. Mirisnya lagi, ketika saya mencoba menguraikan akar hipokritisme ini, saya menemukan fakta menarik yang disampaikan oleh Sdr. Amin Siahan yang merupakan salah seorang kompasianer. Ia mengatakan bahwa hipokritisme sosial sudah ada jauh sebelum Indonesia menjadi sebuah negara. Pada zaman kerajaan, kaum birokrat berusaha memberikan pujian ataupun berita yang menyenangkan raja. Imbalannya adalah berupa jabatan atau kekayaan yang diberikan raja. Dan hal ini adalah contoh konkrit dari prinsip ABS yang disampaikan oleh Mochtar Lubis. Ternyata, Hipokritisme sosial ini masih berlanjut beriringan dengan sistem yang semakin berkembang. Ketika Nusantara dikuasai VOC (1602-1799) perilaku hipokrit juga terjadi. Yaitu melalui praktek-praktek korupsi secara massif sehingga mengakibatkan kongsi dagang ini bubar.
Terlepas dari masa lalunya, sekarang hipokrit tidak lagi dipandang sebagai aib yang harus dihindari. Ia justru menjadi media yang digunakan untuk menjalani dan mempertahankan hidup. Karena sudah menjadi kebiasaan, akhirnya ia menjadi “budaya” yang pastinya sulit untuk disingkirkan. Dan dunia politik adalah hal yang paling tepat untuk mendefinisikannya. Pada pemilu lalu, mulut-mulut hipokrit berseliweran di berbagai media, baik media cetak maupun elektronik. Perempatan-perempatan jalan dan pepohonan pun tidak luput dari sergapan sang empunya mulut-mulut hipokrit ini. Mulai dari partai kambing merah sampai kambing hitam, masing-masing memasang baleho, poster, maupun menyebarkan brosur yang temaya seragam: Menjanjikan perubahan yang lebih baik. Namun faktanya, ketika sudah berkuasa, tingkat kehipokritan mereka bertambah beberapa level dari sebelumnya. Kini mereka menipu suara-suara rakyat yang telah mendukungnya. Mengumbar kebijakan-kebijakan yang (katanya) baik untuk rakyat, tetapi hasilnya? Rakyat miskin pun kian bertambah setiap harinya.
Namun siapa sangka bahwasannya virus hipokrit ini tidak hanya terjadi di dunia politik yang menggelitik. Ternyata, penyakit ini juga menjangkit di tubuh pendidikan Indonesia. Sekolah, sebagai sebuah institusi yang memiliki ribuan bahkan jutaan agen perubahan juga tak luput dari penyakit ini. memang saya tidak memiliki data yang valid dengan persentase-persentase maupun fakta yang terdeskripsikan dengan rapi. Namun, saya beranggapan bahwa sekolah adalah tempat praktek hipokrit sekularistik dari hasil konsumsi media maupun pergaulan yang dilakukan  secara tidak selektif. Mengapa demikian? Sadar tidak sadar, kita sering melihat drama cinta di sekolah yang ada Indonesia. Lakonnya pun sama, 2 pasang manusia yang ingin meluapkan perasaan lebihnya pada lawan jenis. Tidak sedikit pula pelajar yang awalnya menyatakan cinta dengan tulus, saling mencinta, kemudian dilanda konflik, dan berakhir dengan putus yang di iringi dengan sebuah penyesalan. Mari kita namai hal tersebut dengan “Siklus cinta ABG (Anak Baru Gede)”. Dan jika ditinjau dari penilaian sastra, hipokrit memanglah serangkaian kata-kata indah yang bisa memabukkan siapa saja. Dan disinilah peran hipokritisme yang disokong oleh tindakan sekular terjadi. Lalu, mengapa bisa cinta dan kasih sayang di kalangan pelajar SMA disandingkan dengan hipokrit, kemunafikan, dan hal-hal yang berbau sekularistis?
Dalam ajaran Islam, hipokrit memiliki makna yang hampir sama dengan kata “munafiq”. Munāfiq atau Munafik berasal dari kata benda  منافق, bahasa Arab yang merupakan terminologi dalam islam untuk merujuk pada mereka yang berpura-pura mengikuti ajaran agam Islam, namun sebenarnya hati mereka memungkirinya. Namun sekarang, kata munafik tidak lagi selalu merujuk pada orang Islam yang memiliki kepura-puraan dalam hal Aqidah. Ia menjadi kata umum yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang selalu berpura-pura dalam kehidupannya. Dalam islam, terdapat tiga ciri munafiqun atau orang-orang yang munafiq. Yakni dusta dalam berbicara, ingkar dalam janji, serta khianat dalam memikul kepercayaan. Lantas, bukankah tiga ciri tersebut sama dengan “siklus cinta ABG” diatas? Mula-mulanya A menyatakan cinta dengan tulus ke B, lalu dilanda konflik dan tidak bisa menemukan solusi. Lalu, si A mebuat sebuah kebohongan untuk menutupi kesalahannya, dan disinilah dusta terjadi. Ketika konflik mereda, muncul kembali konflik yang berakhir dengan putus dan sebuah penyesalan. Jika kita memutar waktu kembali, si A pernah memberikan janji-janji manis kepada B. Namun ketika A mengingkarinya, kini mereka tak lagi bersama seperti janji yang pernah A lontarkan. Dan B pun merasa bahwa kepercayaan untuk tetap bersama hingga akhir waktu telah dikhianati oleh A. bukankah sudah terlalu jelas ke-hipokrit-an dalam drama cinta diatas? Sayangnya, drama tersebut bukanlah suatu pementasan diatas panggung, melainkan sebuah realita yang terjadi di tubuh pendidikan Indonesia.
Hipokrit Ibarat dewa Janus dalam mitologi Romawi yang memiliki 2 kepala. Ia bisa menengok masa depan dan masa lampau. Disatu sisi ia mendatangkan kebaikan, dan disatu sisi ia juga dapat mengundang kehancuran. Kita sendiri sering tidak menyadari akan “dua kepala” yang kita miliki. Ibarat air yang terus mengalir, ia seringkali bertemu dan bertegur sapa dengan kotoran-kotoran yang dijumpainya. Begitupun dengan kita. Selama hidup, kita tidak sadar akan kehipokritan yang telah kita perbuat. Contoh kecilnya ialah ketika kita menilai rendah dan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang diperbuatnya. Padahal kita sendiri belum tentu bisa melakukan hal yang ia perbuat, dan belum tentu kita lebih baik dari dia. Seorang hipokrit akan selalu berusaha menampilkan sisi baik yang ia punya, dan mengunci rapat-rapat segala sisi buruk darinya. Kalaupun sisi buruknya menguap, ia akan mencoba untuk menutup-tutupi kesalahannya dengan sebuah dusta. Atau, mausia hipokrit sering memuji orang lain. Padahal orang yang dipuji tersebut tidak memiliki standar yang pantas untuk dipuji. Tak lain dan tak bukan karena “sang hipokrit” hanya ingin mempertahankan relasi dengan orang tersebut hanya untuk sebuah kepentingan. Atau yang lebih ekstrim, seorang hipokrit akan mengajak orang lain untuk berbuat kebaikan, padahal ia sendiri seorang dzalim yang sering lalai.

Dalam kehidupan yang mengagungkan materi sebagai penanda keberhasilan dan kebahagiaan, mulut adalah modal utama. Bukan uang atau jabatan. Justru dari mulut yang pandai berkata-katalah, status dan kekayaan bisa diperoleh. Oleh karena itu marilah kita menjaga agar mulut kita tidak “terpleset” ke arah kemunafikan. Mulut yang baik adalah mulut yang tidak menuduh orang lain salah dan pantas dipersalahkan. Karena mulut yang baik adalah mulut yang mengeluarkan perkataan yang penuh keadilan dan kedamaian.

Related Posts

Manusia Hipokrit, Apakah Kita Termasuk?
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.

8 komentar

Tulis komentar
avatar
9 Agustus 2018 pukul 08.53

Saya juga org yg hipokrit min

Reply
avatar
1 Desember 2018 pukul 01.31

Bagus tulisannya , sangat menampar diri saya :(

Reply
avatar
27 April 2019 pukul 04.55

Mungkin semua orang di dunia ini juga hipokrit :(

Reply
avatar
17 Mei 2019 pukul 21.47

Cukup menyentil menyadarkan perilaku2 seorang hipokrit terhadap sekitar, khususnya diri sendiri. Masih ada di dalam diri Saya jika melihat/berkaca ke dalam diri. Sungguh beruntung mereka yg bisa melihat ke-hipokrit-an di dalam diri mereka sendiri, karena ada kesadaran, dan muncul niat untuk memperbaiki diri. Bahaya bagi mereka yang larut dalam ke-hipokrit-an ini, akan selalu menjandi candu yang dosisnya akan selalu bertambah.

Pada dasarnya hipokrit karena menginginkan perasaan aman, dan perasaan aman yang palsu inilah yang sudah menjadi pola kebanyakan masyarakat kita.

Tulisan yang baik! Keep sharing!

Reply
avatar
17 Januari 2020 pukul 21.53

Mantap, klo saya mungkin lebih ke virtue signalling. Virtue signalling itu bisa dibilang hipokrit stadium ringan.

Reply