Sejam yang lalu, jari-jemariku masih riang gembira
menari-nari di atas keyboard empukku ini, menumpahkan segala analisis mengenai
politik luar negeri Indonesia dan kebijakan-kebijakannya. Begitu masuk ke
paragraf empat. Tiba-tiba jariku mogok, menolak segala apa yang aku
perintahkan, menolak untuk diayunkan bersamaan dg Murattal At-Taubah yang
sedang aku putar. Ayat-ayat yang dilantunkan oleh Al-Ghomidy ini masih
terdengar nyaring dengan tajwidnya yang fasih. Sementara pikiranku… Sementara
pikiranku sekarang putus dibelah oleh perasaan yang campur aduk.
Ya tuhan, apa gunanya kalimat-kalimat indah dengan font yang
elok di papan hitam ini. Satu bulan yang lalu aku memang sempat menuliskan
kalimat-kalimat motivasi untuk menyemangati diriku sendiri. Namun sekarang
tidak lebih dari hiasan yang kutaruh di sudut kamar belaka. Jari-jemariku
sekarang berhenti, pikiranku sekarang macet. Dan bahkan, sekarang mataku
menatap dengan kosong 4 kata yang kutulis dengan huruf hijaiyah, dimana aku
memang sengaja menulisnya dengan tebal-tebal. “Usaha, Doa, Ikhtiyar, Tawakkal”.
Itulah mereka, ramuan ajaib bagi perindu sukses, ramuan ajaib yang selalu
dinasehatkan oleh para kyai, ustad, dan guru-guru kita. Namun sayang, 4 kata
tersebut hanya menjadi hiasan saja. Aku belum merasakan gairah dan semangat
yang mengalir dalam diriku saat itu.
Akupun memutuskan untuk berhenti menulis sejenak dan
melangkah dengan pasti ke tiap-tiap
tangga untuk naik ke lantai 2 diatas rumah. Kulihat jam dinding menunjukkan
pukul 17.20 sore, sejurus kemudian kuambil handphone pemberian ibuku. Samsung
champ mini warna coklat tanpa tutup baterai. Usang memang, namun ini adalah
sesuatu yang berharga bagiku. Tak lupa kuputar dengan keras lagu Motohiro Hata-Himawari No Yakusoku yang
menjadi ending soundtrack Stand By Me Doraemon. Lagu ini memiliki lirik dan
irama yang sedih, pas sekali jika kuputar sore ini, pikirku dalam hati.
Kulihat langit senja begitu indah, awan-awan berbaris rapi
dibalut cahaya kuning yang begitu mempesona. Kini matahari melambai-lambai
penuh suka cita. Ia terbenam di ufuk barat, diantara pepohonan mlinjo yang
tinggi nan lebat. Dan bulanpun mulai nampak dengan malu-malunya. Detik demi
detik, menit demi menit tarasa begitu sempurna. Ahh… Beginikah rasanya kelak
disurga? Dug dug dug, bedug adzan maghribpun dipukul. Singkat cerita usai
membaca Al-Qur’an aku berniat melanjutkan tulisan tadi. Berharap jari-jemariku
kembali menari dengan ide-ide untuk menyelesaikannya. Ya tuhan, bukan hanya jariku
yang tak mau bergerak, bahkan aku sekarang merasa muak untuk menulis. Apa yang
terjadi?
Memang sebenarnya akhir-akhir ini aku merasa kesal dengan
diriku sendiri. Aku merasa kesal dengan beberapa masalah akhir-akhir ini.
Masalah, tugas sekolah, proyek essai yang sedang kutulis, dan kehidupan romansa
yang jauh dari ekspektasi. Jika boleh jujur, faktor terakhir itu lah yang
membuatku kesal dan merasa terupuruk. Bagaimana tidak? Kemarin, orang yang aku
cintai selama ini ternyata sudah tidak lagi memiliki perasaan yang sama seperti
saat kami pertama bertemu. Dengan dalih tidak ingin menjalin status hubungan
atau pacaran ia berkata demikian padaku lewat telepon. Ah… ini pasti perasaan
yang sering melanda muda-mudi kekinian. Ini adalah perasaan yang mereka sebut
galau. Ya! Itu adalah kalimat yang familiar di telingaku.
Dengan sekonyong-konyongnya aku berusaha meneguhkan hati saat
itu juga. Aku berusaha menambal kembali lubang yang timbul, lubang yang telah
tercipta malam itu. Jika ia berdalih begitu, aku bisa mentolerir hal tersebut
karena pada dasarnya prinsipku adalah saling mencintai tanpa harus memiliki.
Namun yang membuat hatiku bergeming adalah ketika ia mengatakan bahwa ia tidak
lagi memiliki perasaan yang sama seperti dahulu. Itu berarti aku mencintai
orang yang salah. Itu berarti selama ini aku menyia-nyiakan waktuku untuk
memikirkan dia.
Beberapa saat setelah pikiranku berdebat, aku merasa bahwa
semua ini bukan sepenuhnya salah dia. Ia mungkin lelah dengan diriku yang tidak
tegas dalam mengungkapkan perasaan. Ia mungkin lelah dengan diriku yang tidak
tegas dalam memberi jawaban. Ia mungkin lelah dengan hubungan yang tidak jelas
ini!
Kami yang dipisahkan oleh jarak dan waktu, hanya pernah jalan satu kali…
Aku masih ingat bagaiman cara ia tersenyum. Aku masih ingat bagaimana cara ia tertawa. Aku masih ingat wajah malu itu. Aku masih ingat suara dan ekspresinya ketika ia aku pojokkan dalam sebuah pembicaraan. Aku masih ingat semuanya… aku masih ingat meski pertemuan itu terasa begitu singkat.
Aku juga masih ingat ketika ia mengajakku untuk melihat film yang dibintangi oleh Raditya Dika, namun aku tidak bisa mengiyakan permintaannya. Aku masih ingat ketika ia kusuruh keluar rumah dengan alasan bahwa aku berada didepan rumahnya, padahal saat itu aku berada dirumahku sendiri. Aku masih ingat dia ingin bertemu denganku pada suatu malam, dan tanpa pikir panjang dengan sarung yang masih terikat kuat kupacu motorku. Namun kami pun tetap tidak bisa bertemu, dipisahkan oleh aturan jam malam yang menyebalkan itu.
Menyenangkan memang… Namun sekarang, aku terpakasa melupakan semua itu. Tak apalah…
Kami yang dipisahkan oleh jarak dan waktu, hanya pernah jalan satu kali…
Aku masih ingat bagaiman cara ia tersenyum. Aku masih ingat bagaimana cara ia tertawa. Aku masih ingat wajah malu itu. Aku masih ingat suara dan ekspresinya ketika ia aku pojokkan dalam sebuah pembicaraan. Aku masih ingat semuanya… aku masih ingat meski pertemuan itu terasa begitu singkat.
Aku juga masih ingat ketika ia mengajakku untuk melihat film yang dibintangi oleh Raditya Dika, namun aku tidak bisa mengiyakan permintaannya. Aku masih ingat ketika ia kusuruh keluar rumah dengan alasan bahwa aku berada didepan rumahnya, padahal saat itu aku berada dirumahku sendiri. Aku masih ingat dia ingin bertemu denganku pada suatu malam, dan tanpa pikir panjang dengan sarung yang masih terikat kuat kupacu motorku. Namun kami pun tetap tidak bisa bertemu, dipisahkan oleh aturan jam malam yang menyebalkan itu.
Menyenangkan memang… Namun sekarang, aku terpakasa melupakan semua itu. Tak apalah…
Karena tulisanku belum kunjung selesai sementara perut ini
sudah menabuhkan genderang perang. Dengan berat hati aku keluar rumah, tepatnya
ke pasar di daerah Mojoagung. Dengan motor supraku, aku menembus lalu lintas
Mojoagung yang ramai lalu mengarah ke sebuah pasar. Aku melambatkan laju
motorku saat memasuki kawasan yang banjir ini. bukan banjir air, melainkan
banjir dipenuhi oleh jejalan manusia. Memang pasar ini adalah pasar yang terkenal.
Tak ayal lagi, memang letak pasar ini strategis. Berdiri di seberang jalur
antar propinsi.
Namun ada yang aneh ketika akau memasuki kawasan ini. ada
suatu hal yang tak biasa kurasakan. Aku seakan-akan tersedot oleh hal magis
yang dimiliki oleh penduduk pasar ini. Dengan sengaja kuperlambat laju motorku
pada kecepatan 25 KM/h. Disisi kanan kulihat jajaran penjual buah yang sedang
merajut asa, lengkap dengan sampah-sampah dan air kehitaman menggenang
disana-sini. Lalat-lalat hijau yang gemuk berdengung-dengung diantara raut
wajah mereka. Kulihat juga beberapa anak
kecil dengan ingus naik turun berlari kesana kemari. Begitu mendekat, mereka
langsung menengadahkan tangan, meminta beberapa receh kepada orang-orang yang
dijumapinya. Aku seperti dipaksa untuk merasakan semua ini, merasakan kepedihan
tiap-tiap orang yang mengucurkan keringat mereka. Masih dengan kecepatan 25
KM/h, kususuri jalanan pasar ini hingga pada suatu titik, kumatikan mesin
motorku. Nampaknya aku dipaksa lagi untuk merasakan hal-hal semacam ini.
sekilas kulihat jajaran warung remang-remang dengan gadis-gadis belia sebagai
bartendernya. “Hmmm… bodohnya mereka mau menjajahkan diri” kataku. namun,
sejurus kemudian sekelebat kalimat terlintas di di pikiranku. Aku dibisikkan
sesuatu, namun oleh diriku sendiri. Aku khilaf, sebenarnya aku yang bodoh
karena selalu memandang sesuatu dengan sebelah mata. Diriku yang lain
mengatakan bahwa mereka terpaksa melakukan hal tersebut. Apalagi jika bukan
untuk membiayai kebutuhan keluarganya?
Disisi lain, kulihat seorang kakek tua penjual pentol. Selama
kuamati belum satupun orang yang menyentuh dagangannya. Dengan pipinya yang
cekung dan sorot mata yang lemah itu beliau masih semangat menawarkan pentol
pada tiap-tiap orang yang dijumapinya. Hampir dua puluh menit aku duduk disini,
di jok motorku. Pasar kumal ini mempertontonkan sebuah panggung pertunjukan
besar. Orang-orang mempertontonkan hidup mereka didepanku. Dan didepan
warung-warung itu pula tampak seseorang yang tak waras setengah telanjang
berjalan. Perutnya buncit, tapi tulang lengan dan dadanya mencuat tak
berdaging. Dari warung-warung itu pula terdengar dengan jelas lagu-lagu dangdut
yang turut memeriahkan suasana. Suara tapak kuda dari delman-delman yang
bertik-tak-tuk ria turut meramaikan panggung ini. Di panggung ini sedang
dimainkan lakon kemiskinan. Sayangnya panggung ini bukan panggung sandiwara,
tapi sebuah kehidupan nyata.
Setelah makan, aku langsung bergegas pulang. Hal pertama yang
aku lakukan adalah berbaring di Kasur. Aku lebih banyak diam. Banyak hal yang
berkecamuk dihatiku. Betapa banyak nikmat yang aku dapat dan betapa
beruntungnya aku dibanding mereka. Keterpurukan akibat 1 wanita yang aku anggap
luar biasa meyakitkan ternyata belum ada apa-apanya! Teryata tuhan masih
perhatian kepadaku.
Malam itu pun aku sadar, betapa banyak nikmat yang aku
lupakan. Aku berpikir jika aku akan mendapatkan semua hal dengan mudah. Betapa
bodohnya! Malam itu pun aku sadar, jika kita harus lebih membuka hati terhadap
hal-hal disekitar kita. Buang jauh-jauh sikap apatis! Malam itu pun seperti
kuda gila, kubuat kembali draf-draf untuk tulisanku sebelumnya, ditambah dengan
ide menulis tulisan ini. Malam itu pun aku sadar, aku berjanji kepada diriku
sendiri untuk berusaha tidak berlamas-malasan. Aku tidak ingin kacau! Dan sejak
malam itu juga, aku selalu memperlambat laju motorku hanya untuk menyaksikan sebuah
drama di suatu tempat, yang kusebut rumah sakit galau…
Rumah Sakit Galau
4/
5
Oleh
Unknown
2 komentar
Tulis komentarAgak shock baca posting ini, sorang al-faruq yang selalu terlihat "santai", bisa down gegara satu orang cewek. But, nothing imposible. Keep spirit and writing Faruq..
Reply